sulung
Ku genggam erat pena ini ku
lukiskan tinta terang menari meliuk-liuk menggores cerita luka, 2 tahun yang
lalu semua berubah, kepergian ayah adalah luka tanpa darah yang masih terasa
lunak basah di hati kami, menjadikan aku si sulung yang berperan ganda, sebagai
anak gadis nan ayu namun juga bujang yang gagah penjaga keluarga.
Masih kurasa tagis itu, basah
dan mengering di pipi, masih ku dengar isak itu tangis pilu ibu 2 tahun yang
lalu. Dia pergi tanpa permisi, dia pergi tanpa Ba-Bi-bu lagi, satu persatu harapan
kami mulai terkikis, satu persatu mimpi kami habis. Hutang yang ayah tinggalkan
menjadi tanggungan ibu sepenuhnya, aku terpaksa harus diam-diam berhenti
kuliah. Ini kulakukan bukan tanpa alasan, aku ingin membantu ibu, aku si sulung
tak bisa diam saja melihat ibu melakukan semuanya sendiri. Aku tahu ini salah
tapi aku rasa tidak sepenuhnya begitu meski satu hal yang aku yakini jika ibu
tahu beliau pasti marah besar, “but I have no choice” otak ku berputar. Aku si
sulung mana boleh manja tak boleh menangis lagi, meski aku tak bohong semakin
keras keinginan ku menahannya semakin deras butiran bening itu mengalir.
Kerap kali aku terjaga malam
sadar tak sadar, sering terdengar isak-isak pilu, senyap. Terdengar di
sela-sela heningnya malam. Aku ingin tapi tak berdaya, ingin... ingin benar
rasanya ku peluk tubuh ibu yg sesegukan karena tangis, ku beri nasihat- nasihat
bijak berharap mampu menenangkan hati ibu, tapi apa? Aku tak punya daya untuk
itu, utuk mendekat pun aku tak mampu, tak tahan melihat wajah sendu itu basah,
jelas benar wajah itu lelah, tampak benar beban yang di pangkunya tersirat
jelas dari pada sorot matanya, diam.... diam...diam dalam bisu aku, bak patung
pahatan, membeku dalam kelemahanku, masih tiada memiliki keberanian menenangkan
ibu, ini bukan tiada beralasan tapi karena aku sadar , bukanlah benar tegar
hati anak mu ini ibu, bisa luntur semua ketegaran pada diri yang aku bangun,
bisa pecah tangis ku dalam pangkuanmu bukan aku yang akan menenangkan mu, tapi
tangisku yang akan semakin menyiksamu. Mana
mungkin aku bsajadi si sulung yang kuat panutan buat adik adik ku kalau dalam
permainan emosi saja aku kalah, bagaimana mungkin si sulung ini jadi tempat
bersandar jika bahunya saja oleng menahan beban sendiri, rapuh dan tiada
berdaya. Aku masih diam menelan ludah pahit ke dalam.
28 Januari 2005 terasa kilat
melikuk di sebelah telingaku menyambar langsung pada gendang telinga serasa mau
pecah bagian kepala berhamburan benak rasanya, kabar ini lebih dahsyat dari
guncangan yang terjadi padabumi aceh 2009 silam, pecah tangis keluarga,
meratap, menangis, menghiba pada yang kuasa, di pojok sana ibu terduduk lemas.
Dua orang bawahan ayah dengan wajah buram berkunjung menyampaikan kabar yang
membuat aku hampir mati, jikalau aku punya penyakit jantung mungkin tak sempat
ku tulis kisah ini. Paman Briptu Ade dan
Briptu eka menyampaikan bahwa kemugkinan besar ayah tidak bisa lagi pulang ke
rumah berkumpul bersama kami, sudah dari
kemarin petang timsar gabungan menelusuri hutan di bawah jurang Sitinjau yang
menghubungkan kota solok dan Padang tapi belum ada tanda- tanda keberadaan
ayah. Apa ini???? Aku tak paham apa maksudnya, ingin rasanya aku bicara keras
dan berkata “BICARA APA PAMAN INI, JANGAN MENGADA-NGADA BAGAIMANA MUNGKIN AYAH
TIDAK AKAN PULANG LAGI, AYAH BARU PERGI KEMARIN PAMAN, DAN ITU KARENA TUGAS
BELIAU” mata ku merah panas emosi bercampur, tapi jangankan suara keras yg
terdengar satu katapun tak mampu aku lontarkan, aku paham aku mengerti maksud
dari kalimat itu, hanya saja tak bisa terima aku berharap mereka salah lantas
kemudian kembali kemudian esok hari dan berkata korban kecelakaan itu ternyata
bukan ayah, tapi mereka tiada datang lagi dengan berita yang aku harapkan.
Keep reading okay, ini belum
berakhir bak bangkai yang telah lama di simpan begitu keluar baunya langsung
tajam mencari hidung mu, membuat mu ingin mengocok isi perutmu dan
mengeluarkanya. Inilah yang kemudian kami hadapi 7 bulan berlalu setelah
memberikan kabar tak sedap itu paman Briptu Eka kembali berkunjung, kali ini ia
tidak di temani paman Ade, hanya selembar amplop putih berstempel lambang
kepolisian yg ku lihat di berikannya kepada ibu, dan jelas ini bukanlah hal
yang baik karena paman Eka yang biasanya selalu ceria dengan beragam guyonan
konyolnya kini memiliki tampang serius yang benar-benar tak enak di pandang.
Aku tak tahu pasti apa isinya tapi itu pasti buruk, ternyata kali ini feeling
ku meleset kabar itu tidaklah buruk tapi benar benar buruk, pensiunan ayah di
cabut tiada lagi kini dana yang di berikan pemerintah untuk kami, ini karena
ayah dianggap menyalahi aturan, tidak seharusnya……………..
masih prosest do'ain cepet kelar ya ^_^