Senin, 25 Maret 2013


sulung
Ku genggam erat pena ini ku lukiskan tinta terang menari meliuk-liuk menggores cerita luka, 2 tahun yang lalu semua berubah, kepergian ayah adalah luka tanpa darah yang masih terasa lunak basah di hati kami, menjadikan aku si sulung yang berperan ganda, sebagai anak gadis nan ayu namun juga bujang yang gagah penjaga keluarga.
Masih kurasa tagis itu, basah dan mengering di pipi, masih ku dengar isak itu tangis pilu ibu 2 tahun yang lalu. Dia pergi tanpa permisi, dia pergi tanpa Ba-Bi-bu lagi, satu persatu harapan kami mulai terkikis, satu persatu mimpi kami habis. Hutang yang ayah tinggalkan menjadi tanggungan ibu sepenuhnya, aku terpaksa harus diam-diam berhenti kuliah. Ini kulakukan bukan tanpa alasan, aku ingin membantu ibu, aku si sulung tak bisa diam saja melihat ibu melakukan semuanya sendiri. Aku tahu ini salah tapi aku rasa tidak sepenuhnya begitu meski satu hal yang aku yakini jika ibu tahu beliau pasti marah besar, “but I have no choice” otak ku berputar. Aku si sulung mana boleh manja tak boleh menangis lagi, meski aku tak bohong semakin keras keinginan ku menahannya semakin deras butiran bening itu mengalir.
Kerap kali aku terjaga malam sadar tak sadar, sering terdengar isak-isak pilu, senyap. Terdengar di sela-sela heningnya malam. Aku ingin tapi tak berdaya, ingin... ingin benar rasanya ku peluk tubuh ibu yg sesegukan karena tangis, ku beri nasihat- nasihat bijak berharap mampu menenangkan hati ibu, tapi apa? Aku tak punya daya untuk itu, utuk mendekat pun aku tak mampu, tak tahan melihat wajah sendu itu basah, jelas benar wajah itu lelah, tampak benar beban yang di pangkunya tersirat jelas dari pada sorot matanya, diam.... diam...diam dalam bisu aku, bak patung pahatan, membeku dalam kelemahanku, masih tiada memiliki keberanian menenangkan ibu, ini bukan tiada beralasan tapi karena aku sadar , bukanlah benar tegar hati anak mu ini ibu, bisa luntur semua ketegaran pada diri yang aku bangun, bisa pecah tangis ku dalam pangkuanmu bukan aku yang akan menenangkan mu, tapi tangisku yang akan semakin menyiksamu.  Mana mungkin aku bsajadi si sulung yang kuat panutan buat adik adik ku kalau dalam permainan emosi saja aku kalah, bagaimana mungkin si sulung ini jadi tempat bersandar jika bahunya saja oleng menahan beban sendiri, rapuh dan tiada berdaya. Aku masih diam menelan ludah pahit ke dalam.
28 Januari 2005 terasa kilat melikuk di sebelah telingaku menyambar langsung pada gendang telinga serasa mau pecah bagian kepala berhamburan benak rasanya, kabar ini lebih dahsyat dari guncangan yang terjadi padabumi aceh 2009 silam, pecah tangis keluarga, meratap, menangis, menghiba pada yang kuasa, di pojok sana ibu terduduk lemas. Dua orang bawahan ayah dengan wajah buram berkunjung menyampaikan kabar yang membuat aku hampir mati, jikalau aku punya penyakit jantung mungkin tak sempat ku tulis kisah ini.  Paman Briptu Ade dan Briptu eka menyampaikan bahwa kemugkinan besar ayah tidak bisa lagi pulang ke rumah berkumpul bersama kami, sudah  dari kemarin petang timsar gabungan menelusuri hutan di bawah jurang Sitinjau yang menghubungkan kota solok dan Padang tapi belum ada tanda- tanda keberadaan ayah. Apa ini???? Aku tak paham apa maksudnya, ingin rasanya aku bicara keras dan berkata “BICARA APA PAMAN INI, JANGAN MENGADA-NGADA BAGAIMANA MUNGKIN AYAH TIDAK AKAN PULANG LAGI, AYAH BARU PERGI KEMARIN PAMAN, DAN ITU KARENA TUGAS BELIAU” mata ku merah panas emosi bercampur, tapi jangankan suara keras yg terdengar satu katapun tak mampu aku lontarkan, aku paham aku mengerti maksud dari kalimat itu, hanya saja tak bisa terima aku berharap mereka salah lantas kemudian kembali kemudian esok hari dan berkata korban kecelakaan itu ternyata bukan ayah, tapi mereka tiada datang lagi dengan berita yang aku harapkan.
Keep reading okay, ini belum berakhir bak bangkai yang telah lama di simpan begitu keluar baunya langsung tajam mencari hidung mu, membuat mu ingin mengocok isi perutmu dan mengeluarkanya. Inilah yang kemudian kami hadapi 7 bulan berlalu setelah memberikan kabar tak sedap itu paman Briptu Eka kembali berkunjung, kali ini ia tidak di temani paman Ade, hanya selembar amplop putih berstempel lambang kepolisian yg ku lihat di berikannya kepada ibu, dan jelas ini bukanlah hal yang baik karena paman Eka yang biasanya selalu ceria dengan beragam guyonan konyolnya kini memiliki tampang serius yang benar-benar tak enak di pandang. Aku tak tahu pasti apa isinya tapi itu pasti buruk, ternyata kali ini feeling ku meleset kabar itu tidaklah buruk tapi benar benar buruk, pensiunan ayah di cabut tiada lagi kini dana yang di berikan pemerintah untuk kami, ini karena ayah dianggap menyalahi aturan, tidak seharusnya……………..
masih prosest do'ain cepet kelar ya ^_^