Alysha
berjalan di tepian sungai mangoscoa, beberapa tangkai bunga daisy tersusun
manis di genggaman tangannya. Raut mukanya layu, butir bening luluh dari dua
buah kelopak matanya semua rasa berkecamuk dalam jiwanya mungkinkah celenang
yang ia pahat dengan tangannya ia biarkan pecah atas ulah orang yang bahkan
tidak berarti. Ia merasakan kelopak matanya kembali hangat mencairkan Kristal
beku yg lagi-lagi membasahi pipinya. hari ini ulang tahun moses, pria yang
sudah selama 12 tahun ini mengisi relung2 hatinya tapi semua itu hancur dalam
sekelebatan mata. Dunia seakan terbelah dua ketika alysha melihat moses tengah
berpelukan mesra dengan seorang wanita yang sangat akrab dimatanya.
Bibirnya bergetar
harinya riuh dengan suara gemuruh tak menent.
trak…trak…trak….
Pecah hancur sudah tak terkira lagi seperti apa bentuk hatinya kini, air jernih mangoscoa beriak mengejar ujungnya alysha menatap perlahan ketepian mangoscoa sebuah kano terlihat diam seakan menantinya.
“naiklah
Alysha aku akan membawa mu jauh menyusuri mangoscoa membasuh luka-luka dengan
jernih dan beningnya cinta.”
Alysha melangkah
perlahan gemetar tangan halusnya menggapai tepian kano,
Air sungai menggelitik
punggung kano. dingin mangoscoa meraup lambaian tangan Alysha, sekelebat bayangan mungil melintas di benaknya.
“Auro…”
desisnya lirih.
“Auro putriku…”
semakin lirih hampir tak terdengar.
“Auro…”
desisnya lirih.
“Auro putriku…”
semakin lirih hampir tak terdengar.
“Ma-ma…ma-ma…”
suara mungil Auro
memanggil Alysha terbata dengan bunga daisy indah tergenggam ditangannya merangkak
pelan kearah moses.
“Ma-ma..pa.”
ucapnya
lagi menatap bola bola mata bening moses berharap moses akan menjelaskan
ketiadaanya mamanya di rumah beberapa hari ini.
“Ada
apa kak”
terdengar suara seorang
wanita memecahkan suasana hati moses yg tengah berkecamuk antara ragu dan
penyesalan.
“Auro, kurasa dia merindukan mamanya.”
Moses menjawab dengan
nada sedikit berat.
“Mama disini sayang…”
Wanita itu kembali
berkata, lagaknya penuh dengan kepura-puraan. Moses menyerahkan Auro dari
gendongannya kepada Nadia.
Nadia… gadis
berperawakan tinggi dengan kulit sawo matang yang selama ini telah dianggap
Alysha seperti saudaranya kini telah menjadi duri yang tertancap didalam sum sum tulang
alysha. Menjadi jerat dalam hati moses dan mencoba menghapus bayang-bayang
Alysha.
“Ma-ma…pa”
Kata ini terulang lagi
dari bibir mungir auro. Terlihat butiran bening mengalir di sekitar pipi
bakpaonya. Seakan ingin berontak bahwa wanita yang sedang menggedongnya
bukanlah mamanya.
5 tahun setelah
kepergian Alysha nadia melahirkan seorang bayi laki2 bermata sebiru air persis
mata seorang pria yang pernah menghianati istrinya lima tahun lalu. Moses
tersenyum lebar menatap putra pertamanya.
“
sudahkah kau fikirkan namanya?”
Tanya Nadia yang masih
terbaring di dipan putih rumah sakit.
“ Gabriel Sandona Moses.”
Ucapnya penuh senyum, disusul senyuman Nadia.
Sementara di balik
pintu terlihat sepasang mata bersiap menderaikan air mata.
Satu minggu berlalu
sejak kepulangan Nadia dari rumah sakit,setiap keluarga menyambut kelahiran
sikecil Gabriel dengan suka cita. Tak ada lagi cinta untuk Auro, Auro mungil
dengan pipi bakpao seakan tidak pernah ada.sepertinya tidak satu orangpun yang
mengingatnya. Auro kecil melangkahkan kakinya lamban namun pasti kearah bukit
kecil yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah besar keluarga moses. Menatap
seksama hamparan daisy yang berlenggak lenggok di hembus angin di sekitr bukit.
“Ma….”
Suaranya mulai parau terhambat di tenggorokkan. Tak terasa bening-bening cristal telah mencair dari dua buah telaga matanya.
Auro berjongkok di
tengah hamparan bunga daisy yang menari seirama. Berjongkok dengan waktu yang
cukup lama meski kakinya hampir mati rasa seolah ribuan semut liar menggrogoti
kaki mungilnya ia bersikeras melawan keinginannya agar tidak duduk sehingga
akan mengotori dress birunya yang mulai menyempit. Sebuah dress yang merupakan
dress favoritnya dan juga merupakan satu-satunya peninggalan paling berharga
dari satu-satunya wanita yang pernah mencintainya dengan tulus.
Benarkah mamanya
menyayanginya dengan tulus?
Pertanyaan ini selalu berkecamuk
di hatikecil Auro,
“kapan pulang ma? Jemput Auro, Auro lindu mama”
Ratapnya menghiba pilu.
Selembar foto di yang mulai usang peluknya erat.
“Ma….kenapa tinggalkan
Auro”
Rintihnya lagi. Lindung awan telah memayunginya dari terik mentari, dan mungkin sebentar lagi akan memandikannya dengan tangisan alam.tetesan demi tetesan air langit mulai berjatuhan, namun Auro masih belum beranjak dari tempatnya barang satu langkahpun.
Sedikit demi sedikit
dress birunya mulai menerima bercak2 lumpur dari percikan air hujan. Matanya
yang sembab mulai terasa perih untuk di buka perlahan dunia mulai beranjak
gelap dan lembab merangkul Auro.
Moses mulai menangis terisak air matanya mengaliri sudut pipinya yg putih bersih tatapan matanya tak beranjak bari gadis kecil berusia 6 tahun yang masih terkulai lemas di atas dipan putih.
Tangannya halus
membelai hangat pipi Auro,tangan yang kekar itu tiba2 kehilangan tenaga hanya
air mata yang mampu membaca teka-teki jiwa.
Mata mungil Auro
perlahan terbuka, wajah layunya membuat kerut pilu setiap yang memandangnya,
lubuhnya tiada bertenaga barang untuk tersenyum sekalipun.
“Auro.. mana yang sakit nak,”
Hanya tanya singkat yang mampu ia ucakan, beribu sesal membantai halus bathinnya.
“Ma…Auro lindu mama, lindu cekali ma. Auro cakit ma koq mama tidak datang. Mama mau Auro jemput ya ma? Besok Auro jemput ya ma cekarang Auro Tidak bica bangun ma kaki Auro cakit…..kali.”
kata yang tak mampu terurai dari bibir kecil Auro hanya terjabar panjang dalam hatinya nun jauh. Moses mengecup hangat kening Auro pipinya masih basah oleh kristal yang tak hentinya mencair dari kelopak matanya.
“ maaf pak jam besuk sudah habis,bapak bisa meninggalkan ruangan
karena pasien harus istirahat guna proses pemulihan.”
Seorang suster dengan baju putih rapi telah berdiri dibelakang moses. Segera moses meyeka pipinya kemudian ciuman halus bertubi2 melayang ke wajah mungil Auro kemudian beranjak pergi meski langkahnya ia ayunkan dengan sangat berat.
Thursday 5.12pm di ruang keluarga bincang hangat berbumbu percikan bara mulai terdengar dari bibir keduanya.
“
kak tidak usah terlalu berlebihan selama ini kakak sudah terlalu memanjakan
Auro. Lihat hasinya sekarang baru kena air hujan saja sudah seperti tak akan
hidup lama lagi”
Suara ketus Nadia
merajam seluruh bagian telinga moses.
“Nadia
kamu sadar apa yang sedang kamu katakan? Auro itu anakku, anak mu tak pantas kau
berkata seperti itu.”
Moses mencoba tenang
meski hatinya seakan terbakar hebat mendengar perkataan tajam nadia.
“
apa katamu anak ku??? Dia bukan anak ku, dia anak kau dan wanita sialan itu. Wanita
yang tak tahu diri si bodoh yang pergi tergesa-gesa dan lupa membawa sampah
itu. Jangan pernah katakan dia anakku anak ku hanya Gabriel.”
Plak…
Moses tak kuasa menahan emosinya tidak pernah sebelumnya ia memukul apalagi itu seorang wanita tapi kini tanganya ringan mendarat di pipi nadia.
“ kau fikirkan lagi apa yang pantas untuk kau ucapkan”
Kata yang terlalu
singkat untuk dikatakan sebelum ia meninggalkan nadia dengan mata yang mulai
berair. Sementara dari malik kamar Auro hanya meringkuk berteman tangis,
kata-kata nadia bak kail yang sengaja di ulur tarik merobek hatinya. Auro
mencoba menahan genangan hangat dari telaga matanya. Tak ingin tangisnya
membuncah pecah.
Perjalanan sang waktu begitu
cepat memakan usia tanpa disadari mengilangkan setiap detik kehidupan sepuluh
tahun berlalu sejak kepergian Alisha yang hilang bak di telan bumi. Senja merabambat
pekat berdiri di ujung alun2 makan malam baru saja dimulai tapi tiba-tiba
seseorang dari balik pintu sudah mengetuk daun pintu yang, suara ketukan
berirama mengiring dinginya malam di awal musim dingin.
Tok…tokk…tok….
Tok…tokk…tok….
“Auro
tidakkah telinga mu masih bisa mendengar jelas, mengapa masih diam saja. Lekas buka
pintu”
Nadia menghardik galak
menatap dengan tatapan srigala membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Sementara
moses tak kalah menatap Nadia galak seakan seekor singa yang siap menerkam
mangsanyanya.
“sayang boleh papa minta tolong, bukakan pintu ya.”
Moses meminta lembut
berusaha mengimbangi kata kasar nadia.
“ ya pa.”
Jawab Auro singkat
kemudianberlalu pergi.
Auro berdiri membatu,
bukan karena dinginnya udara yang masuk dari luar namun karena sesosok wajah
yang selama ini ia rindukan kini telah berdiri epat di hadapanya nyatakah ini
atau hanya sekedar mimpi. Auro sadar namun tak percaya. Bekunya udara musim
dingin tak menghentikan hangatnya bola mata Auro kristal itu pecah lagi
mengalir lagi membasahi pipinya yang putih indah. Tak ada kata yang mampu
terucap tangis haru membuncah di dinginnya malam awal musim salju.
“Auro sehat sayang?”
Auro tak mampu menjawab
hanya anggukan kecil yang ia berikan. Alisha memeluknya erat hangat sekali
seperti sepuluh tahun lalu sebelum papa menggantikanya dengan wanita kasar
bernama nadia.
Wajah mama lebih cerah, bahkan lebih cantik dari sepuluh tahun
lalu tapi satu hal yang Auro yakini itu bukan pengaruh kosmetik atau withening.
Auro membalas pelukan
alisha tak ingin melepasnya lagi takut takut alisha akan pergi lagi.
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar