Senin, 19 Maret 2012

Salju musim semi




Alysha berjalan di tepian sungai mangoscoa, beberapa tangkai bunga daisy tersusun manis di genggaman tangannya. Raut mukanya layu, butir bening luluh dari dua buah kelopak matanya semua rasa berkecamuk dalam jiwanya mungkinkah celenang yang ia pahat dengan tangannya ia biarkan pecah atas ulah orang yang bahkan tidak berarti. Ia merasakan kelopak matanya kembali hangat mencairkan Kristal beku yg lagi-lagi membasahi pipinya. hari ini ulang tahun moses, pria yang sudah selama 12 tahun ini mengisi relung2 hatinya tapi semua itu hancur dalam sekelebatan mata. Dunia seakan terbelah dua ketika alysha melihat moses tengah berpelukan mesra dengan seorang wanita yang sangat akrab dimatanya.
Bibirnya bergetar harinya riuh dengan suara gemuruh tak menent.
           trak…trak…trak….

Pecah hancur sudah tak terkira lagi seperti apa bentuk hatinya kini, air jernih mangoscoa beriak mengejar ujungnya alysha menatap perlahan ketepian mangoscoa sebuah kano terlihat diam seakan menantinya.
“naiklah Alysha aku akan membawa mu jauh menyusuri mangoscoa membasuh luka-luka dengan jernih dan beningnya cinta.” 
Alysha melangkah perlahan gemetar tangan halusnya menggapai tepian kano, 


Air sungai menggelitik punggung kano. dingin mangoscoa meraup lambaian tangan Alysha,  sekelebat bayangan mungil melintas di benaknya.

“Auro…” 

 desisnya lirih.

“Auro putriku…” 

semakin lirih hampir tak terdengar. 
“Ma-ma…ma-ma…”

suara mungil Auro memanggil Alysha terbata dengan bunga daisy indah tergenggam ditangannya merangkak pelan kearah moses.  
“Ma-ma..pa.” 
ucapnya lagi menatap bola bola mata bening moses berharap moses akan menjelaskan ketiadaanya mamanya di rumah beberapa hari ini.
“Ada apa kak” 
terdengar suara seorang wanita memecahkan suasana hati moses yg tengah berkecamuk antara ragu dan penyesalan. 
          “Auro, kurasa dia merindukan mamanya.”
Moses menjawab dengan nada sedikit berat.
          “Mama disini sayang…”
Wanita itu kembali berkata, lagaknya penuh dengan kepura-puraan. Moses menyerahkan Auro dari gendongannya kepada Nadia.
Nadia… gadis berperawakan tinggi dengan kulit sawo matang yang selama ini telah dianggap Alysha seperti saudaranya kini telah menjadi  duri yang tertancap didalam sum sum tulang alysha. Menjadi jerat dalam hati moses dan mencoba menghapus bayang-bayang Alysha.
          “Ma-ma…pa” 
Kata ini terulang lagi dari bibir mungir auro. Terlihat butiran bening mengalir di sekitar pipi bakpaonya. Seakan ingin berontak bahwa wanita yang sedang menggedongnya bukanlah mamanya.
5 tahun setelah kepergian Alysha nadia melahirkan seorang bayi laki2 bermata sebiru air persis mata seorang pria yang pernah menghianati istrinya lima tahun lalu. Moses tersenyum lebar menatap putra pertamanya.
“ sudahkah kau fikirkan namanya?”
Tanya Nadia yang masih terbaring di dipan putih rumah sakit.
          “ Gabriel Sandona Moses.”

Ucapnya penuh senyum, disusul senyuman Nadia.
Sementara di balik pintu terlihat sepasang mata bersiap menderaikan air mata.
Satu minggu berlalu sejak kepulangan Nadia dari rumah sakit,setiap keluarga menyambut kelahiran sikecil Gabriel dengan suka cita. Tak ada lagi cinta untuk Auro, Auro mungil dengan pipi bakpao seakan tidak pernah ada.sepertinya tidak satu orangpun yang mengingatnya. Auro kecil melangkahkan kakinya lamban namun pasti kearah bukit kecil yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah besar keluarga moses. Menatap seksama hamparan daisy yang berlenggak lenggok di hembus angin di sekitr bukit.



 “Ma….”

Suaranya mulai parau terhambat di tenggorokkan. Tak terasa bening-bening cristal telah mencair dari dua buah telaga matanya.
Auro berjongkok di tengah hamparan bunga daisy yang menari seirama. Berjongkok dengan waktu yang cukup lama meski kakinya hampir mati rasa seolah ribuan semut liar menggrogoti kaki mungilnya ia bersikeras melawan keinginannya agar tidak duduk sehingga akan mengotori dress birunya yang mulai menyempit. Sebuah dress yang merupakan dress favoritnya dan juga merupakan satu-satunya peninggalan paling berharga dari satu-satunya wanita yang pernah mencintainya dengan tulus.
Benarkah mamanya menyayanginya dengan tulus?
Pertanyaan ini selalu berkecamuk di hatikecil Auro,

“kapan pulang ma? Jemput Auro, Auro lindu mama”
Ratapnya menghiba pilu. Selembar foto di yang mulai usang peluknya erat.

“Ma….kenapa tinggalkan Auro”

Rintihnya lagi. Lindung awan telah memayunginya dari terik mentari, dan mungkin sebentar lagi akan memandikannya dengan tangisan alam.tetesan demi tetesan air langit mulai berjatuhan, namun Auro masih belum beranjak dari tempatnya barang satu langkahpun.



Sedikit demi sedikit dress birunya mulai menerima bercak2 lumpur dari percikan air hujan. Matanya yang sembab mulai terasa perih untuk di buka perlahan dunia mulai beranjak gelap dan lembab merangkul Auro.

Moses mulai menangis terisak air matanya mengaliri sudut pipinya yg putih bersih tatapan matanya tak beranjak bari gadis kecil berusia 6 tahun yang masih terkulai lemas di atas dipan putih.
Tangannya halus membelai hangat pipi Auro,tangan yang kekar itu tiba2 kehilangan tenaga hanya air mata yang mampu membaca teka-teki jiwa.
Mata mungil Auro perlahan terbuka, wajah layunya membuat kerut pilu setiap yang memandangnya, lubuhnya tiada bertenaga barang untuk tersenyum sekalipun.

          “Auro.. mana yang sakit nak,”

Hanya tanya singkat yang mampu ia ucakan, beribu sesal membantai halus bathinnya.

“Ma…Auro lindu mama, lindu cekali ma. Auro cakit ma koq mama tidak datang. Mama mau Auro jemput ya ma? Besok Auro jemput ya ma cekarang Auro Tidak bica bangun ma kaki Auro cakit…..kali.” 

kata yang tak mampu terurai dari bibir kecil Auro hanya terjabar panjang dalam hatinya nun jauh. Moses mengecup hangat kening Auro pipinya masih basah oleh kristal yang tak hentinya mencair dari kelopak matanya.

“ maaf pak jam besuk sudah habis,bapak bisa meninggalkan ruangan 
karena pasien harus istirahat guna proses pemulihan.”

Seorang suster dengan baju putih rapi telah berdiri dibelakang moses. Segera moses meyeka pipinya kemudian ciuman halus bertubi2 melayang ke wajah mungil Auro kemudian beranjak pergi meski langkahnya ia ayunkan dengan sangat berat.

Thursday 5.12pm di ruang keluarga bincang hangat  berbumbu percikan bara mulai terdengar dari bibir keduanya.

“ kak tidak usah terlalu berlebihan selama ini kakak sudah terlalu memanjakan Auro. Lihat hasinya sekarang baru kena air hujan saja sudah seperti tak akan hidup lama lagi”
Suara ketus Nadia merajam seluruh bagian telinga moses. 
“Nadia kamu sadar apa yang sedang kamu katakan? Auro itu anakku, anak mu tak pantas kau berkata seperti itu.” 
Moses mencoba tenang meski hatinya seakan terbakar hebat mendengar perkataan tajam nadia.
“ apa katamu anak ku??? Dia bukan anak ku, dia anak kau dan wanita sialan itu. Wanita yang tak tahu diri si bodoh yang pergi tergesa-gesa dan lupa membawa sampah itu. Jangan pernah katakan dia anakku anak ku hanya Gabriel.” 
Plak…

Moses tak kuasa menahan emosinya tidak pernah sebelumnya ia memukul apalagi itu seorang wanita tapi kini tanganya ringan mendarat di pipi nadia. 
          “ kau fikirkan lagi apa yang pantas untuk kau ucapkan”
Kata yang terlalu singkat untuk dikatakan sebelum ia meninggalkan nadia dengan mata yang mulai berair. Sementara dari malik kamar Auro hanya meringkuk berteman tangis, kata-kata nadia bak kail yang sengaja di ulur tarik merobek hatinya. Auro mencoba menahan genangan hangat dari telaga matanya. Tak ingin tangisnya membuncah pecah. 
Perjalanan sang waktu begitu cepat memakan usia tanpa disadari mengilangkan setiap detik kehidupan sepuluh tahun berlalu sejak kepergian Alisha yang hilang bak di telan bumi. Senja merabambat pekat berdiri di ujung alun2 makan malam baru saja dimulai tapi tiba-tiba seseorang dari balik pintu sudah mengetuk daun pintu yang, suara ketukan berirama mengiring dinginya malam di awal musim dingin.

 Tok…tokk…tok….
“Auro tidakkah telinga mu masih bisa mendengar jelas, mengapa masih diam saja. Lekas buka pintu”
Nadia menghardik galak menatap dengan tatapan srigala membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Sementara moses tak kalah menatap Nadia galak seakan seekor singa yang siap menerkam mangsanyanya.
          “sayang boleh papa minta tolong, bukakan pintu ya.”
Moses meminta lembut berusaha mengimbangi kata kasar nadia. 
          “ ya pa.”
Jawab Auro singkat kemudianberlalu pergi.
Auro berdiri membatu, bukan karena dinginnya udara yang masuk dari luar namun karena sesosok wajah yang selama ini ia rindukan kini telah berdiri epat di hadapanya nyatakah ini atau hanya sekedar mimpi. Auro sadar namun tak percaya. Bekunya udara musim dingin tak menghentikan hangatnya bola mata Auro kristal itu pecah lagi mengalir lagi membasahi pipinya yang putih indah. Tak ada kata yang mampu terucap tangis haru membuncah di dinginnya malam awal musim salju. 
          “Auro sehat sayang?”
Auro tak mampu menjawab hanya anggukan kecil yang ia berikan. Alisha memeluknya erat hangat sekali seperti sepuluh tahun lalu sebelum papa menggantikanya dengan wanita kasar bernama nadia.

 Wajah mama lebih cerah, bahkan lebih cantik dari sepuluh tahun lalu tapi satu hal yang Auro yakini itu bukan pengaruh kosmetik atau withening. 
Auro membalas pelukan alisha tak ingin melepasnya lagi takut takut alisha akan pergi lagi.
BERSAMBUNG…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar