Jumat, 07 Juni 2013

SAKIT

Seorang istri baru pulang dari dokter karena merasa kurang enak badan.
Suami : “Ma, sakit apa kata dokter?”
Istri : “Nggak ada apa-apa, cuma sedikit stress. Dokter menyarankan supaya kita rileks dengan liburan ke New York, Paris, London, Tokyo atau Sydney. Enaknya kita pergi ke mana, Pa?”
Suami : “Enaknya kita pergi ke dokter lain saja”
++++++++++++++++++++++
ha ha ha ha.. cpd..

tahukah kawan, sebenarnya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan kepada kita tempat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dari rasa stress.. yaitu majelis dzikir atau majelis2 ta’lim..
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda,”Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan jiwa (sakinah) turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim, no. 2699; Abu Dawud, no. 3643; Tirmidzi, no. 2646; Ibnu Majah, no. 225; dan lainnya].
Tidaklah sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecuali malaikat mengelilingi mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan jiwa (sakinah) turun kepada mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya. [HR Muslim, no. 2700].
Ngapain juga cari yg mahal2 kalo mo cari ketenangan jiwa dari jiwa yg stress, apalagi bisa bikin kantong bokek, belum tentu ketenangan jiwa yg didapat bahkan bisa jadi dosa didapat, banyak maksiyat yg dilihat..
Padahal sebenarnya dah dijanjikan Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa ketenangan jiwa dari rasa stress itu bisa kita dapatkan di tempat yg gak jauh dari rumah kita, yaitu “MASJID”..
Hadiri yaaahhh.. majelis2 yg mengingat Allah Subhanahu wa ta’ala..

Shalat Sunnah Fajar

Sejenak kita mudzakarah tentang shalat sunnah Fajar beserta keutamaan-keutamaan di dalamnya.. oleh karena itu, sebelumnya kita menegok dalil2 yang ada terlebih dahulu..

Apakah shalat sunnah fajar..?! Shalat sunnah fajar adalah sholat sunnah yang didirikan sebelum shalat shubuh, karena shalat Subuh sendiri disebut dengan shalat fajar, karena dalam beberapa dalil baik Al Quran ataupun hadits Nabi SAW menyebut subuh dengan kata Fajar sesuai dengan dalil di bawah ini..

  1. QS 2;187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Dalil ini sehubungan dengan orang yang berpuasa yang mereka diharuskan berhenti makan dan minum serta aktifitas yg membatalkan puasa saat terdengar kumandang adzan Subuh. Sehingga kata “Fajar” di atas adalah sebagai ganti kata Subuh.

  1. QS 17;78. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) fajar (shubuh). Sesungguhnya shalat fajar (shubuh) itu disaksikan (oleh malaikat).

Para mufasir telah sepakat bahwa kata “Fajar” dalam ayat tersebut adalah dalil untuk menjalankan Shalat Subuh dan keutaman Shalat Shubuh.

  1. QS 97;5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar

Ayat ini membahas tentang lailatur Qadr, dan kata “Fajar” tersebut menandakan Shubuh.


  1. “empat raka’at sebelum dhuhur dan dua rakaat sesudahnya dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua raka’at sesudah ‘Isya dan dua raka’at sebelum sholat fajar.”— HR–Tirmidzi.

Berdasarkan dalil di atas, kata “Fajar” yang dihubungkan dengan shalat adalah sebagai kata ganti subuh.


Pertanyaan yang timbul adalah, kapan waktu pelaksanaan shalat Sunnah Fajar tersebut..??!! nah, untuk mengetahui hal tersebut, mari kita bahas dalil2 yang ada untuk mengatahui kapan pelaksanaan shalat tersebut..

  1. “Jika muazzin selesai dari adzan shalat shubuh (kedua) dan subuhpun telah nampak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat dua rakaat yang ringan sebelum shalat ditegakkan.” (HR. Muslim no. 723)
  2. “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai mendengar azan (shubuh), maka beliau shalat dua rakaat fajar dengan meringankan (raka’at) keduanya.” (HR. Muslim no. 724)
  3. Jikalau muazzin sudah diam dengan bunyi azan shalat Subuh dan sudah tampak jelas terbitnya fajar dan telah didatangi oleh muazzin, lalu beliau s.a.w. berdiri untuk melakukan shalat sunnah dua rakaat yang ringan, kemudian berbaring pada belahan tubuhnya yang kanan sehingga beliau s.a.w. didatangi oleh muazzin untuk memberitahu-kan waktunya iqamat.” (HR Muttafaqun ‘alaih)

Dari dalil2 yang ada tersebut di atas akhirnya kita mengetahui bahwa waktu shalat sunnah Fajar adalah sebelum Shubuh, alias Shalat sunnah fajar  adalah Shalat Qobliyah Shubuh.

Sekarang marilah kita membahas bagaimana keutamaan2 Shalat sunnah fajar atau Shalat Qobliyah Shubuh tersebut dengan  membahas dalil2 yang ada :

“Dua rakaat (sebelum shalat) fajar (subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)

Hari ini, jika manusia ditawari uang Rp. 1 Milyar dan dia juga ada waktu serta kemampuan (jika saja dia mau) untuk mendapatkannya, tetapi kemudian dia akhirnya tidak bisa mendapatkan uang tersebut hanya dikarenakan dia menunda-nunda waktu hingga terlewatlah waktu dan kesempatan untuk mendapatkan uang tersebut.. apa yang akan dia rasakan..??!! Dia akan mengalami penyesalan yang amat sangat dalam dan bahkan mungkin dia setengah berteriak bahkan mungkin berteriak keras2 untuk sekedar mengatakan “rugi aku..!! rugi besaaarrr..!!”.. bagaimana tidak..??!! uang segitu gede ada di depan mata kita tetapi akhirnya hilang sia2..

Saat ini Allah SWT telah menjajnjikan kita rejeki yang jaauuuhhh lebih besar dari uang Rp. 1 Milyar tersebut, yaitu dunia dan isinya.. berapa harga dunia dan isinya dibanding uang Rp. 1 Milyar tesebut kawan..??!! dan apakah kita yakin pada janji itu..??!! bukankah Allah SWT sendiri yang menjanjikannya pada kita..??!! bukankah kita juga mengaku beriman pada Allah SWT, mengandung artinya kita lebih percaya pada Allah melebihi kepercayaan kita pada makhluq..??!! dan bukankah kita juga percaya Allah tidak pernah mengingkari janjiNya..??!! QS 31;33 “..Sesungguhnya janji Allah adalah benar..”.. Allah tidak pernah berdusta kawan..!!!
Jika kita percaya bahwa Allah SWT tidak pernah berdusta, lalu mengapa kita tidak berusaha mendapatkan janji Allah SWT melebihi janji manusia di dunia ini..??!! seperti permisalan di atas, saat kita terlepas mendapatkan uang gede di dunia ini kita merasakan kerugian yg amat sangat besar dan penyesalan yg amat sangat luar biasa bahkan mungkin bila ada kesempatan lainnya kita tidak akan melakukan kesalahan serupa, sehingga kita akan berusaha lebih keras untuk mendapatkannya..
tetapi saat kita terlepas dari mendapatkan janji Allah SWT yg jaaauuuhhh lebih gede tersebut di atas kita sering santai2 saja bahkan tidak ada rasa penyesalan sedikitpun manakala kita luput dari mendapatkannya.. mungkin kesempatan yg ada esok harinya pun akan kita lewatkan juga, dan juga sama tanpa ada penyesalan sedikitpun, laksana seorang yg tidak percaya terhadap janji dari Sang Penciptanya tersebut..

Jika kita mengaku bahwa Allah SWT adalah Tuhanku, dan mengaku sangat yakin pada janji2Nya, maka jangan pernah lagi kita menyia2kan kesempatan emas tersebut.. karena di dalam janji tersebut ada ke-ridho’an Allah SWT..

Rasulullah SAW dan para Shahabat paham akan hal tersebut, sehingga mereka tidak pernah mau meninggalkannya walau sekalipun.. mereka sangat bersungguh2 dan serius mendapatkannya, seperti tergambar dalam hadits2 di bawah ini :

” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sangat tekun mengerjakan suatu shalat sunnah sebagaimana tekunnya beliau mengerjakan shalat dua raka’at fajar”. (HR. Al-Bukhari no. 1169)

Bahkan ada salah seorang shahabat yang luput dai mendapatkannya, maka dia qodho’ shalat tersebut dengan menjalankannya setelah shalat Shubuh, krn merasakan kerugian yang amat sangat besar kalo tidak menjalankannya..

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang laki-laki yang mengerjakan shalat dua rakaat lagi setelah shalat subuh. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalat subuh itu hanya dua raka’at.” Laki-laki itu menjawab, “Sesungguhnya aku belum mengerjakan shalat (sunnah) dua raka’at yang diseharusnya dikerjakan sebelumnya, karena itu aku mengerjakannya sekarang ini.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam.” (HR. Abu Daud no. 1267 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah: 1/329)

Shalat Qobliyah yg terpaksa diqodho’ dengan menjalankannya setelah shalat wajibnya diperbolehkan manakala dia memang sudah rutin melaksanakan qobliyah tersebut tepat waktunya, hanya saja dikarenakan kondisi insidentil yg menyebabkan dia terlepas dari menjalankannya tepat waktu..

HUKUM WANITA HAID MASUK MESJID

Bagaimana hukum wanita haid masuk masjid..?! Ada perbedaaan pendapat/ khilafiah di kalangan ulama. ada yang membolehkan, ada yang membolehkan dengan syarat, dan ada pula yg tidak membolehkannya. Sekarang, mari kita kupas bersama2 melalui dalil2 yg ada dan mari kita kaji dgn seksama perbedaan pendapat tersebut..

Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan hal wanita haid masuk masjid tersebut. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pendapat yg melarang wanita haid masuk masjid, hal ini kebanyakan diikuti oleh sebagian ulama bermadzhab Maliki dan Hanafi. Mereka mutlak melarang dalam apapun.

2. Pendapat yang membolehkan dengan syarat. Pendapat ini banyak diikuti dari kalangan ulama bermadzhab Syafi’i dan ulama dari madzhab Hambali. Pendapatanya adalah melarang jika wanita tersebut menetap/berdiam di masjid, kecuali sekedar lewat atau berjalan atau mengambil sesuatu yang ada di dalm masjid saja. Artinya, membolehkan dengan syarat.

3. Pendapat yang membolehkan secara mutlak tanpa syarat apapun bagi wanita haid berada di masjid selama diyakini darahnya tidak akan mengotori masjid.

Sekarang, mari kita kupas dalil2 yang ada sehubungan dengan pendapat2 tersebut, agar kita bisa memilah dan memilih pendapat mana yang lebih mendekati kebenaran.

I. Pendapat ulama yang melarang secara mutlak :

  1. “Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124)

Hadits tersebut ternyata hadits dhaif karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah. Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh sekelompok ulama di antara Al-Imam Al-Baihaqi Ibnu Hazm dan Abdul Haq Al-Asybili. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Hadits ini batil.” dan juga telah di dhaifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dlm Irwa‘ul Ghalil no. 124 Dha’if Al-Jami‘ush Shaghir no. 6117 dan Dha’if Sunan Abi Dawud.

  1. “Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)

Dalil tersebut digunakan untuk shalat ‘ied di lapangan, dan bukan untuk di masjid. Rasulullah SAW menyebut kata “mushalla” biasanya adalah untuk tempat2 shalat sunnah, seperti di lapangan untuk shalat ‘ied atau tempat shalat di rumah2 kita.. Dan beliau SAW menyebut masjid untuk tempat2 shalat wajib. Jadi, dalil ini pun kurang tepat jika dijadikan dalil untuk melarang wanita ke masjid.

II. Pendapat Ulama yang membolehkan dengan syarat :
1.      Firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)

Kata “shalat” di artikan tempat shalat.. Tetapi dalam ayat trersebut tidak menyebutkan wanita haid. Wanita haid dalam ayat tersebut diqiyaskan dengan kata junub. Sehingga ulama dari kalangan ini membolehkan dengan syarat hanya sekedar lewat atau mengambil sesuatu di dalam masjid dengan dikuatkan oleh dalil

  1. Hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).

Ada tambahan dari ulama kalangan madzhab Hambali, bahwa boleh menetap di masjid selama orang yang berhadats besar tersebut dalam keadaan wudhu. Sesuai dengan dalil yang ada dari Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat.” (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan).
Akan tetapi untuk wanita yang sedang haid maka tidak diperbolehkan berdiam diri di masjid, karena berwudhunya dalam kondisi demikian tidak sah (Lihat, al-Mughniy, Ibnu Qatamah, 1/135-137). Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih juga.


III. Pendapat ulama yang membolehkan secara mutlak :

Beberapa ulama yang membolehkan secara mutlak adalah Ibnu Hazm, Ibnu Mundzir, Al Muzanny dsb. Mereka berpendapat, bahwa tidak ada satupun dalil sahahih yang melarang wanita haid berada di dalam masjid. Sedangkan dalil yang membolehkan wanita haid berada di dalam masjid justru ada dan tergolong hadits shahih. Adapaun dalil2 yang digunakan adalah sebagai berikut :

  1. Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.

2.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).

3.      Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)


  1. Hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).

Hadits tersebut di atas tidak menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Aisyah harus segera keluar dari masjid atau boleh masuk masjid tapi sekedar mengambil al-Humrah saja. Beliau SAW hanya menerangkan haid tidak di tanganmu, sehingga selama aman dan tidak akan mengotori masjid, maka diperbolehkan wanita untuk berada di dalam masjid tanpa batas waktu dan syarat2 tertentu.

  1. Ayat QS 4;43 ttg “(jangan pula hampiri tempat shalat) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,..” berasal dari kata “.. walaa (dan jangan/tidak) junuban (orang yg junub) illaa (kecuali) ‘aabiriy sabiyl (sekedar lewat/musafir)..”.
Ada perbedaan penafsiran dlm hal ini, krn kata jangan menghampiri tempat shalat tidak ada dlm teks asli Al Quran. Perbedaan pendapat tersebut berada pada kata “..’aabiriy sabiyl..”. Ada yang menafsirkan sekedar lewat, ada pula yg menafsirkan musafir.

Maka dlm kitab ibnu Hazm (al-Muhallaa, 2/174-175) bahwa seharusnya penafsiran dari kata walaa (dan jangan/tidak) junuban (orang yg junub) illaa (kecuali) ‘aabiriy sabiyl (sekedar lewat/musafir)..” yang dimaksud adalah “ wa laa (dan jangan/tidak “shalat”) junuban (orang yg junub)..” bukan “mendekati tempat shalat”.

Selain itu, jika benar diterjemahkan tempat shalat, maka, lapangan bisa jadi tempat shalat (sesuai hadits tentang shalat ‘ied), atau rumah2 kita juga bisa jadi tempat shalat. Bumi ini adalah tempat shalat, sesuai hadits Rasulullah SAW  “Dijadikan bumi ini bagiku tempat yang baik, alat bersuci dan masjid (tempat sujud), maka bagi siapapun yang telah datang waktu shalat agar shalat di mana saja.” (HR. Muslim, 5/32 dan Abu Dawud, no. 489)
Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Dijadikan bagi kami bumi ini keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan debunya bagi kami alat bersuci apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)

Berkata al-Imam an-Nawawiy : Berkata shahabat Abu Hanifah bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah seseorang yang bepergian (musafir) jika dalam keadaan junub dan tidakmendapati air diperbolehkan baginya bertayamum dan mendirikan shalat meskipun sifat junub masih ada karena yang dimaksudkan adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah yang berpendapat demikian adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya. Adapun tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud ‘aabiriy sabiyl” ialah sekedar berlalu di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas.

Sehingga menurut pendapat kelompok ini, tidak ada satupun dalil yang shahih dan pasti yang melarang wanita haid berada di dalam masjid dengan alasan dan keadaan apapun.


Demikian telah diterangkan panjang lebar mengenai wanita haid beserta dalil2 yang ada. Silahkan ambil salah satunya yang anda anggap paling kuat landasan hokum dan dalil2nya. Kebenaran mutlak adalah milik Allah, akan tetapi Allah telah memberikan kita alat agar kita bisa memilah dan memilih sebuah kebenaran.

Wallahu a’lam….