Kamis, 20 Desember 2012

Hijab is My way


faarifa:


hahahani:


Menanggapi post nya teh rinisetia » http://rinisetia.tumblr.com/post/38289471970/salah-satu-orang-yang-cara-berpakaian-gw-suka » thank’s i’m very appreciate it :) 
Hikmah Perintah ber-Hijab
Ngomong-ngomong soal hijab, ku pikir ya hijab inilah izzah (Harga diri) kita sebagai seorang muslimah bukan?
Salah satu hikmah mengapa Allah menyuruh kita berhijab agar kita bisa dibedakan dengan perempuan non muslim. Seperti yang termaktub di dalam surat Al-Ahzab: 59 




“….. Yang demikian agar mudah dikenali…”




Aku Bangga Berhijab
Nah, aku jadi inget cerita waktu di Singapore . 
waktu itu, aku lagi duduk manis, kemudian ada orang China yang “noel” (sentuh » bahasa sunda)  dan dia bilang : 




“Can I take Picture with You?”




ya mungkin, ku pikir dia iseng ajah gara2 liat ada seorang wanita tengah duduk “nganggur” manis. haha. jadi akhirnya di ajak foto deh . jadi langsung ajah bilang 




“Yes, of Course.”




Saat itu orang china nya ada dua, dan mereka bergiliran berfoto denganku. 
dan di akhir mereka bilang 




“Thank You”




Waktu kejadian ini sama sekali ga ada perasaan aneh, hingga akhirnya kejadian kedua terjadi. saat memasuki ballroom convention hall di Marina, tetiba ada segerombolan orang China lainnya, dan mereka bilang pengen foto bareng 




“Hah ada apa ini?”




Ada sekitar 7 orang China yang minta foto bareng. mereka bergiliran minta foto hingga akhirnya aku mulai merasakan keanehan. 




“Aku mirip siapa ini, ga ada angin ga ada ujan tiba-tiba orang pada minta foto bareng”




hahaha.
sampe pada sesi akhir foto bareng, ada salah satu orang yang bilang gini.




“Nice! Beautiful!” 




sambil megang jilbab dan melihat baju yang ku kenakan saat itu. hari itu aku memakai gamis biru dengan luaran batik. 
senang bukan main.
satu alasannya, bagaimana perasaanmu ketika bisa mengirimkan pesan tak langsung dari keindahan sebuah hijab kepada non muslim?? Bukan sebuah kekangan melainkan sebuah keindahan. 
i’m proud being a muslimah. what about you?
:)


Berjilbab syar’i tetap cantik kok. Bukan malah tertinggal mode zaman :)
I’m proud being a muslimah
me too..^^

Menanggapi post nya teh rinisetia »http://rinisetia.tumblr.com/post/38289471970/salah-satu-orang-yang-cara-berpakaian-gw-suka » thank’s i’m very appreciate it :) 
Hikmah Perintah ber-Hijab
Ngomong-ngomong soal hijab, ku pikir ya hijab inilah izzah (Harga diri) kita sebagai seorang muslimah bukan?
Salah satu hikmah mengapa Allah menyuruh kita berhijab agar kita bisa dibedakan dengan perempuan non muslim. Seperti yang termaktub di dalam surat Al-Ahzab: 59 
“….. Yang demikian agar mudah dikenali…”
Aku Bangga Berhijab
Nah, aku jadi inget cerita waktu di Singapore . 
waktu itu, aku lagi duduk manis, kemudian ada orang China yang “noel” (sentuh » bahasa sunda)  dan dia bilang : 
“Can I take Picture with You?”
ya mungkin, ku pikir dia iseng ajah gara2 liat ada seorang wanita tengah duduk “nganggur” manis. haha. jadi akhirnya di ajak foto deh . jadi langsung ajah bilang 
“Yes, of Course.”
Saat itu orang china nya ada dua, dan mereka bergiliran berfoto denganku. 
dan di akhir mereka bilang 
“Thank You”
Waktu kejadian ini sama sekali ga ada perasaan aneh, hingga akhirnya kejadian kedua terjadi. saat memasuki ballroom convention hall di Marina, tetiba ada segerombolan orang China lainnya, dan mereka bilang pengen foto bareng 
Hah ada apa ini?
Ada sekitar 7 orang China yang minta foto bareng. mereka bergiliran minta foto hingga akhirnya aku mulai merasakan keanehan. 
“Aku mirip siapa ini, ga ada angin ga ada ujan tiba-tiba orang pada minta foto bareng”
hahaha.
sampe pada sesi akhir foto bareng, ada salah satu orang yang bilang gini.
Nice! Beautiful!” 
sambil megang jilbab dan melihat baju yang ku kenakan saat itu. hari itu aku memakai gamis biru dengan luaran batik. 
senang bukan main.
satu alasannya, bagaimana perasaanmu ketika bisa mengirimkan pesan tak langsung dari keindahan sebuah hijab kepada non muslim?? Bukan sebuah kekangan melainkan sebuah keindahan. 
i’m proud being a muslimah. what about you?
:)
Cause hijab is my way

PAPA kembalikan tangan ita,

Papa, Kembalikan Tangan Ita....

Sebuah kisah untuk dijadikan pengalaman sebagai pelajaran.
Sebagai orang tua kita patut juga menghalangi perbuatan pasangan untuk memukul sang buah hati. Khususnya pada anak-anak yang masih kecil dan tak tahu apa-apa. Mengajar dengan cara memukul bukanlah cara terbaik.

Begini kisah nyatanya:
Sepasang suami isteri seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak untuk diasuh pembantu rumah ketika mereka bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan berusia tiga setengah tahun. Sendirian di rumah, dia sering dibiarkan pembantunya yang sibuk bekerja.

Dia bermain diluar rumah. Dia bermain ayunan, berayun-ayun di atas ayunan yang dibeli papanya, ataupun memetik bunga matahari, bunga kertas dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dia pun mencoret semen tempat mobil ayahnya diparkirkan tetapi karena lantainya terbuat dari marmer, coretan tidak kelihatan. Dicobanya pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, coretannya tampak jelas. Apa lagi kanak-kanak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu bapak dan ibunya mengendarai motor ke tempat kerja karena jalan macet. Setelah sang anak mencoret penuh sisi yang sebelah kanan dia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari si pembantu rumah.

Pulang petang itu, terkejutlah ayah ibunya melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan angsuran. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini?” Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya.

Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘Tak tahu… !” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi. Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “Ita yg membuat itu papa…. cantik kan!” katanya sambil memeluk papanya ingin bermanja seperti biasa. Si ayah yang hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon bunga raya di depannya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya.

Si anak yang tak mengerti apa-apa terlolong-lolong kesakitan sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa? Si bapak cukup keras memukul-mukul tangan kanan dan kemudian tangan kiri anaknya.

Setelah si bapak masuk ke rumah dituruti si ibu, pembantu rumah menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dilihatnya telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiram air sambil dia ikut menangis. Anak kecil itu juga terjerit-jerit menahan kepedihan saat luka-lukanya itu terkena air. Si pembantu rumah kemudian menidurkan anak kecil itu. Si bapak sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah.

Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu. “Oleskan obat saja!” jawab tuannya, bapak si anak. Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si bapak konon mau mengajar anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu tetapi setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Ita demam…” jawap pembantunya ringkas.”Kasih minum obat penurun panas ,” jawab si ibu.

Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Ita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Memasuki hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Ita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan ia dirujuk ke hospital karena keadaannya serius. Setelah seminggu di rawat inap doktor memanggil bapak dan ibu anak itu.

“Tidak ada pilihan..” katanya yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu diamputasi karena gangren yang terjadi sudah terlalu parah.
“Tangannya sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya kedua tangannya perlu dipotong dari siku ke bawah” kata doktor.

Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan. Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si bapak terketar-ketar menandatangani surat persetujuan pembedahan.

Keluar dari bilik pembedahan, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga heran melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata.

“Papa.. Mama… Ita tidak akan melakukannya lagi. Ita tak mau dipukul papa. Ita tak mau jahat. Ita sayang papa.. sayang mama.” katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya.

“Ita juga sayang Kak Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuatkan gadis itu meraung histeris.

“Papa.. kembalikan tangan Ita. Untuk apa diambil.. Ita janji nggak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Ita mau makan nanti? Bagaimana Ita mau bermain nanti? Ita janji tdk akan mencoret-coret mobil lagi,” katanya berulang-ulang.

Serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi, tiada manusia dapat menahannya.

Teman-teman, pelajaran berharga apa yang dapat kita petik dari kisah nyata ini,

AKU MENUNGGUMU DI SORGA


Seorang perempuan yang sangat cantik berkunjung ke sebuah desa untuk mengunjungi kerabatnya. Dia bertemu dengan seorang pemuda yang sangat tampan yang bekerja di rumah kerabatnya itu. Mereka berdua saling menatap dan jatuh cinta. Pemuda tampan itu merupakan pemuda yang sangat rajin berkerja, soleh, dan tekun beribadah. Itulah yang membuat perempuan cantik itu jatuh cinta. Sementara pemuda itu jatuh cinta kepada si perempuan cantik tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena keramahannya. Walaupun perempuan cantik itu dianggapnya tidak terlalu menjaga hijab.

Pertemuan itu membuat keduanya gelisah karena cinta, hingga pemuda itu meminta orangtuanya untuk melamar perempuan cantik itu. Namun, ternyata perempuan itu sudah memiliki jodohnya dan dia akan segera dinikahkan. Perempuan itu pun mengirimkan surat kepada si pemuda.

Sesungguhnya, tidak ada kata terlambat dalam cinta kita. walau Aku memang telah dijodohkan,
tetapi aku yakin cinta kita lebih kuat daripada itu.
Sebelum aku menikah, aku ingin kau memilikiku dan aku memilikimu.
Secara sembunyi-sembunyi, kita bisa bertemu dan melepaskan dahaga cinta dan kerinduan kita

Pemuda itu menjawab surat tersebut.

Wahai Wanita salihah.
Kau tahu besarnya cintaku padamu dan ini merupakan ujian bagiku.
Apa yang kau tawarkan padaku tidaklah bisa aku setujui.
Aku lebih takut akan murka Allah dan api yang akan menjilati tubuhku karena melakukan perbuatan yang tidak Dia ridhai.

Membaca balasan surat itu, sang perempuan cantik menangis. “Aku tidak pernah menemukan pemuda sesaleh dia. Dia sangat menjunjung tinggi apa yang dibolehkan dan dilarang oleh Allah. Aku akan mengubah hidupku.”

Sejak itulah, perempuan itu mengubah sikapnya menjadi lebih hati-hati dan bertakwa. Dia meninggalkan segala urusan duniawi yang melenakan untuk mendapatkan ridha Allah. Hingga akhirnya, dia meninggal dengan memendam cinta dan kekaguman kepada si pemuda.

Mendengar perempuan cantik yang dicintainya meninggal, pemuda itu menziarahi kubur dan memanjatkan doa untuknya. Suatu ketika, dia tertidur di makam perempuan itu dan bermimpi. Dalam mimpinya, dia bertemu perempuan cantik itu mengenakan baju indah dan wajah berseri.

“Bagaimana kabarmu? Sungguh indah apa yang kau kenakan,” tanya pemuda itu.
“Aku sangat bahagia dengan hari akhirku yang baik. Cintaku kepadamu telah menuntunku menuju kebaikan.” Jawab perempuan itu sambil tersenyum.
“Lalu kemana lagi kau menuju?” tanya si pemuda.
“Aku telah mendapatkan taman surga yang nyaman dan indah dengan restu Allah. Di sinilah tempatku sekarang.” Jawabnya.
“Aku harap, kau tidak melupakanku walau kau telah sangat bahagia dengan keadaanmu sekarang. Aku selalu mengingatmu.”
“Wahai pemuda yang shalih, aku tidak pernah melupakanmu. Selama di dunia dan hingga sekarang, aku selalu berdoa kepada Allah agar kelak kita bisa bersama di surga ini. Bantulah doaku ini dengan ketaatanmu beribadah.”
“Kapan aku bisa melihatmu lagi ?” tanya si pemuda.
“Tak lama lagi, bersabarlah.”

Ternyata, tiga hari setelah mimpi itu, si pemuda meninggal dunia dan Allah telah mengabulkan doa perempuan cantik. Mereka berkumpul di surga.

“Barang siapa takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya. Barang siapa tidak takut kepada Allah, maka Allah menjadikannya takut kepada segala sesuatu.” –HR AL-BAIHAQI

Sahabat, salah satu BUKTI KETANGGUHAN IMAN kita adalah ketika kita mendapatkan tawaran BERZINA dari seseorang yang sangat kita kagumi, tapi kita mampu menolaknya, “ Maaf ya, aku gak bisa, pacarku sudah menunggu aku di Sorga “. bisa ? harus bisa dong, masak kalah sama Iblis ?!

Rabu, 19 Desember 2012

Analysis Triffles


The Basics:
Farmer John Wright has been murdered. While he lay asleep in the middle of the night, someone strung a rope around his neck. And that someone might have been his wife, the quiet and forlorn Minnie Wright.
Written in 1916, Susan Glaspell’s one-act play Trifles is loosely based on true events. As a young reporter, Glaspell covered a murder case in a small town in Iowa. Years later, she crafted a short play inspired by her experiences and observations.
Plot Summary:
The sheriff, his wife, the county attorney, and the neighbors, Mr. and Mrs. Hale, enter the kitchen of the Wright household. Mr. Hale explains how he paid a visit to the house on the previous day. Once there, Mrs. Wright greeted him but behaved strangely. She eventually stated in a dull voice that her husband was upstairs, dead.
Note: Though Mrs. Wright is the central figure in the play, she never appears onstage. She is only referred to by the on-stage characters.
The audience learns of John Wright’s murder through Mr. Hale’s exposition. He is the first (aside from Mrs. Wright) to discover the body. We also learn that Mrs. Wright claimed that she was sound asleep while someone strangled her husband. It seems obvious to the male characters that she killed her husband, and she has been taken into custody as the prime suspect.
The attorney and sheriff decide that there is nothing important in the room: “Nothing here but kitchen things.” (Feminist Criticism Hint: This line is the first of many disparaging comments said to minimize the importance of women in society.) The men criticize Mrs. Wright’s housekeeping skills, irking Mrs. Hale and the sheriff’s wife, Mrs. Peters.
The men exit, heading upstairs to investigate the crime scene. The women remain in the kitchen. Chatting to pass the time, Mrs. Hale and Mrs. Peters notice vital details that the men would not care about:
  • Ruined fruit preserves.
  • Bread that has been left out of its box.
  • An unfinished quilt.
  • A half clean / half messy table top.
  • An empty bird cage.
Unlike the men who are looking for forensic evidence to solve the crime, the women in Susan Glaspell'sTrifles observe clues that reveal the bleakness of Mrs. Wright’s emotional life. They theorize that Mr. Wright’s cold, oppressive nature must have been dreary to live with. Mrs. Hale comments about Mrs. Wright being childless: “Not having children makes less work – but it makes a quiet house.” To the women, they are simply trying to pass the awkward moments with civil conversation. But to the audience, Mrs. Hale and Mrs. Peters unveil a psychological profile of a desperate housewife.
What Happened to the Bird?
When gathering up the quilting material, they discover a fancy little box. Inside, wrapped in silk is a dead canary. Its neck has been wrung. The implication is that Minnie’s husband did not like the canary’s beautiful song (a symbol of his wife’s desire for freedom and happiness). So, Mr. Wright busted the cage door and strangled the bird.
Mrs. Hale and Mrs. Peters do not tell the men about their discovery. Instead, Mrs. Hale puts the box with the deceased bird into her coat pocket – resolving not to tell the men about this little “trifle” they have uncovered.
The play ends with the characters exiting the kitchen and the women announcing that they have determined Mrs. Wright’s quilt making style. (She “knots it” instead of “quilts it” – a play with words denoting the way in which she killed her husband.)
Theme: Men Do Not Appreciate Women
The men within this play betray a sense of self-importance. They present themselves as tough, serious-minded detectives, when in truth they are not nearly as observant as the female characters. Their pompous attitude causes the women to feel defensive and form ranks. Not only do Mrs. Hale and Mrs. Peters bond, but they choose to hide evidence as an act of compassion for Mrs. Wright. Stealing the box with the dead bird is an act of loyalty to their gender and an act of defiance against a callous patriarchal society.
Characters of Trifles:
Mrs. Hale: She had not visited the Wright household for over a year because of its bleak, cheerless atmosphere. She believes that Mr. Wright is responsible for crushing the merriment out of Mrs. Wright. Now, Mrs. Hale feels guilty for not visiting more often. She believes she could have improved Mrs. Wright’s outlook on life.
Mrs. Peter: She has tagged along to bring back clothes for the imprisoned Mrs. Wright. She can relate to the suspect because they both know about “stillness.” Mrs. Peters reveals that her first child died at the age of two. Because of this tragic experience, Mrs. Peters understands what it is like to lose a loved one (in Mrs. Wright’s case it was her songbird).
Mrs. Wright: Before she was married to John Wright, she was Minnie Foster. She was more cheerful in her youth. Her clothes were more colorful. She loved to sing. Those attributes diminished after her wedding day. Mrs. Hale describes Mrs. Wright’s personality:
"She was kind of like a bird herself – real sweet and pretty, but kind of timid and – fluttery. 

review the stronger


The Stronger
On the surface, there’s nothing particularly complicated about Strindberg’s play ‘The Stronger’. Two women – two actresses – run into each other in a restaurant on Christmas Eve. One is married and has been out shopping for presents for her family, the other is unmarried and is sitting alone in the restaurant reading magazines and drinking. We are told almost nothing about these women – they are not even important enough to have names; Strindberg calls them simply Mrs. X and Miss Y. And the entire play (all 6 pages of it) consists of nothing more than a single conversation between these two women. There is no action, no real plot development, nothing particularly out of the ordinary. In fact, one of the women, Miss Y, doesn’t even speak in the entire performance.
And yet, in this one simple scene Strindberg creates an episode of incredible, poetic power – a snapshot of life so intense, so powerful, that it rivals Beckett at his best. Like a Kafka short story, ‘The Stronger’ is rich in allegory and lends itself to many layers of interpretation; it is a play that takes little more than ten minutes to read / perform, but that one can easily spend hours thinking about afterwards. It is moreover, a powerful play, one that makes a deep impression, and leaves one with the illusion that one has travelled far and seen much, even though the entire thing is actually incredibly short.
What is it that makes the play so powerful? To begin with, it is an immaculate piece of stagecraft. It is a tribute to Strindberg’s genius that despite the fact that Miss Y says nothing right through the play, the interaction between her and Mrs X is in every sense of the term a dialogue. Strindberg uses a combination of stage directions and reactions from Mrs. X to ensure that Miss Y is more than a passive listener and that her responses (or at any rate, Mrs. X’s interpretations of her responses) influence and guide the thread of the scene.
Second, ‘The Stronger’ is one of those fascinating pieces of writing that lend themselves to multiple (and conflicting) interpretations. As the play progresses, we discover that Miss Y and Mrs. X are rivals for more than theatre roles – Miss Y is having / has had an affair with Mrs. X’s husband. Except that the play never really corroborates this – we only know that by the end of the scene Mrs. X believes that this is true. So the play lends itself to two very different readings: in the first, Mrs. X is an astute wife who discovers the truth about Miss Y and her husband; in the second, Mrs. X is a pathetic and paranoid woman who’s insecurity about her marriage has brought her to slander. This in turn, leaves the question of who is ‘The Stronger’ one (which is, after all, the key to the play) open. Is Miss Y, who chooses to maintain her silence against Mrs X’s accusations (whether false or true) stronger in her independence? Or, as Mrs. X would have it, is she the stronger one, because she has accepted the truth about her husband and found a way to go on?
This divergence of interpretation brings us to the first of the allegories implicit in the play – the debate about gender roles. In this simple little episode, Strindberg captures wonderfully the fundamental duality of the role women play in society. In Mrs. X we have the woman as caring mother and devoted wife, a person who has lost all individuality and been completely reshaped by the demands of her husband, a woman who glories in the stability and warmth of the family life she has achieved. On the other hand, we have Y, who is the independent woman, who lives her life her own way and is able, because of her independence to shape others to her personality, but who ultimately ends up alone in a restaurant on Christmas Eve. Obviously these are stereotypes, but Strindberg’s point is precisely to make them stereotypes and set them off against each other, so that what is essentially a quarrel between two women, becomes a larger debate about the role of women in society. What makes this particularly interesting, of course, is that Strindberg is not a writer one associates with sensitive portrayals of women (see for instance, the grotesque caricature that is Miss Julia).
But there is, I think, a deeper allegory here. In choosing to silence the character of Miss Y and showing us how Mrs X is able to carry on a conversation (making accusations, drawing inferences) with someone who never actually speaks to her at all, Strindberg has created an image of man’s interaction with God. In the play, Miss Y is not really an individual, but more a sort of human mirror that Mrs X uses to understand and interpret her own life, surfacing her discontent and insecurity and reconciling herself to them by means of a dialogue that is entirely one sided. Miss Y does not need to say anything, and what she thinks or knows has no part in the development of the story. Even the facts are irrelevant here – by the end of the play we do not know what has actually happened, we only know what Mrs. X believes. ‘The Stronger’ is thus a fascinating portrait of both the way individuals can think through the contradictions in their own lives, using another (or the idea of another) as a mere sounding board for their own thought processes, and of the fundamentally conditional nature of truth.
(‘The Stronger’: A Scene. 1890. August Strindberg. Included in ‘Eight Best Plays’ Urwin Brothers, 1979. Translation by Edwin Bjorkman)

THE STRONGER

THE STRONGER
a play in one-act
by August Strindberg
translated by Charles Wangel
The following one-act play is reprinted from Ten Minute Plays. Ed. Pierre Loving. New York: Brentano's, 1923. It is now in the public domain and may therefore be performed without royalties.
CHARACTERS
MME. X: an actress, married
MLLE. Y: an actress, single

SETTING
The corner of a ladies' cafe, two little iron tables, a red velvet sofa, several chairs.
[MME. X enters, dressed in winter clothes, wearing hat and cloak and carrying a dainty Japanese basket on her arm. MLLE. Y sits beside a half-empty beer bottle, reading an illustrated newspaper which later she changes for another.]
MME. X: Good evening, Amelia, you're sitting here alone on Christmas eve like a poor old maid. [MLLE. Y glances up from the newspaper, nods, and resumes her reading.] Do you know it worries me to see you this way, alone in a café, and on Christmas eve, too. It makes me feel as I did that time when I saw a bridal party in a Paris restaurant, the bride sitting reading a comic paper, while the groom played billiards with the witnesses. Ah! thought I, with such a beginning, what a sequel and what an ending! He played billiards on his wedding evening--and she read a comic paper!--But that is neither here nor there.[The WAITER enters, places a cup of Chocolate before MME. X and goes out.] I tell you what, Amelia! I believe you would have done better to have kept him! Do you remember I was the first to say 'forgive him!' Recollect? Then you would have been married now and have had a home. Remember that Christmas in the country? How happy you were with your fiancé's parents, how you enjoyed the happiness of their home, yet longed for the theater. Yes, Amelia, dear, home is the best of all--next to the theater--and the children, you understand--but that you don't understand! [MLLE. Y looks scornful. MME. X sips a spoonful out of the cup, then opens her basket and takes out the Christmas presents.]Here you can see what I have bought for my little pigs. [Takes up a doll] Look at this! This is for Liza. See?--And here is Maja's pop gun [Loads and shoots at MLLE. Y who makes a startled gesture] Were you frightened? Do you think I should like to shoot you? What? My soul! I don't believe you thought that! If you wanted to shoot me, that wouldn't surprise me, because I came in your way--and that, I know, you can never forget. But I was quite innocent. You still believe I intrigued you out of the theater, but I didn't do that! I didn't do that even if you do think so. But it's all one whether I say so or not, for you still believe it was I! [Takes up a pair of embroidered slippers] And these are for my old man. With tulips on them which I embroidered myself. I can't bear tulips, you know, but he must have tulips on everything. [MLLE. Y looks up ironically and curiously. MME. X puts a hand in each slipper.] See what little feet Bob has! What? And you ought to see how elegantly he walks! You've never seen him in slippers? [MLLE. Y laughs aloud.] Look here, this is he. [She makes the slippers walk on the table. MLLE. Y laughs loudly.] And when he is peeved, see, he stamps like this with his foot. 'What! Damn that cook, she never can learn to make coffee. Ah! now those idiots haven't trimmed the lamp wick straight!' And then he wears out the soles and his feet freeze. 'Ugh, how cold it is and the stupid fools never can keep the fire in the heater.' [She rubs together the slippers' soles and uppers. MLLE. Y laughs clearly.] And then he comes home and has to hunt for his slippers which Marie has stuck under the chiffonier. Oh, but it is a sin to sit here and make fun of one's husband. He's a pretty good little husband -- You ought to have such a husband, Amelia. What are you laughing at? What? What? -- And then I know he's true to me. Yes I know that. Because he tole me himself. What are you tittering about? When I came back from my tour of Norway, that shameless Frederika came and wanted to elope with him. Can you imagine anything so infamous? [Pause] But I'd have scratched her eyes out if she had come to see him when I was at home! [Pause] It was good that Bob spoke of it himself and that it didn't reach me through gossip. [Pause] But Frederika wasn't the only one, would you believe it! I don't know why, but women are crazy about my husband. They must think he has something to say about theater engagements because he's connected with the government. Perhaps you were there yourself and tried to influence him! I don't trust you any too much. But, I know he's not concerned about you, and you seem to have a grudge against him. [Pause. They look quizzically at each other.] Come to see us this evening, Amerlia, and show that you're not angry with us -- not angry with me at any rate! I don't know why, but it's so uncomfortable to have you an enemy. Possibly it's because I came in your way [rallentando] or -- I really don't know -- just why. [Pause. MLLE. Y stares at MME. X curiously.] Our acquaintance has been so peculiar. [Thoughtfully] When I saw you the first time I was so afraid of you, so afraid, that I couldn't look you in the face; still as I came and went I always found myself near you -- I couldn't risk being your enemy, so I became your friend. But there was always a discordant note when you came to our house, because I saw that my husband couldn't bear you -- and that was as annoying to me as an ill-fitting gown -- and I did all I could to make him friendly toward you, but before he consented you announced your engagement. Then came a violent friendship, so that in a twinkling it appeared as if you dared only show him your real feelings when you were betrothed -- and then -- how was it later? -- I didn't get jealous -- how wonderful! And I remember that when you were Patin's godmother, I made Bob kiss you -- he did it, but you were so confused -- that is, I didn't notice it then -- thought about it later -- never thought about it before -- now! [Gets up hastily] Why are you silent? You haven't said a word this whole time, but you have let me go on talking! You have sat there and your eyes loosened out of me all these thoughts which lay like raw silk in their coccon -- thoughts -- suspicious thoughts, perhaps -- let me see -- why did you break your engagement? Why do you come so seldom to our house these days? Why won't you visit us tonight? [MLLE. Y appears as if about to speak.] Keep still! You don't have to say anything. I comprehend it all myself! It was because, and because and because. Yes! Yes! Now everything is clear. So that's it! Pfui, I won't sit at the same table with you. [Takes her things to the next table] That's the reason why I had to embroider tulips, which I hate, on his slippers; because you are fond of tulips; that's why [Throws the slippers on the floor] we go to the mountains during the summer, because you don't like the sea air; that's why my boy is named Eskil, because it's your father's name; that's why I wear your colors, read your authors, eat your pet dishes, drink your beverages--this chocolate, for example--that's why. Oh, my God, it's fearful, when I think about it; it's fearful! Everything, everything, came from you to me, even your passion! Your soul crept into mine, like a worm into an apple, ate and ate, grubbed and grubbed, until nothing was left but the rind within. I wanted to fly from you, but I couldn't; you lay like a snake and enchanted me with your black eyes--I felt as if the branch gave way and let me fall. I lay with feet bound together in the water and swam mightily with my hands, but the harder I struggled the deeper I worked myself under, until I sank to the bottom, where you lay like a giant crab ready to catch hold of me with your claws--and I just lay there! Pfui! how I hate you! hate you! hate you! But you, you only sit there and keep silent, peacefully, indifferently, indifferent as to whether the moon waxes or wanes, whether it is Christmas or New Year, whether others are happy or unhappy, without the ability to hate or to love, as composed as a stork by a mouse hole. You can't make conquests yourself, you can't keep a man's love, but you can steal away that love from others! Here you sit in your corner--do you know they have named a mouse-trap after you?--and read your newspapers in order to see if anything has happened to any one, or who's had a run of bad luck, or who has left the theater; here you sit and review your work, calculating your mischief as a pilot does his course; collecting your tribute....[Pause] Poor Amelia, do you know that I'm really sorry for you, because you are so unhappy. Unhappy like a wounded animal, and spiteful because you are wounded! I can't be angry with you, no matter how much I want to be--because you come out at the small end of the horn. Yes; that affair with Bob--I don't care about that. What is that to me, after all? What is that to me, after all? And if I learned to drink chocolate from you or from somebody else, what difference does it make. [Drinks a spoonful out of the cup; knowingly] Besides, chocolate is very healthful. And if you taught me how to dress--tant mieux--that only makes me more attractive to my husband. And you lost what I won. Yes, to sum up: I believe you have lost him. But it was certainly your intent that I should go my own road--do as you did and regret as you now regret--but I don't do that! We won't be mean, will we? And why should I take only what nobody else will have? [Pause]Possibly, all in all, at this moment I am really the stronger. You get nothing from me, but you gave me much. And now I appear like a thief to you. You wake up and find I possess what you have lost! How was it that everything in your hands was worthless and sterile? You can hold no man's love with your tulips and your passion, as I can. You can't learn housekeeping from your authors, as I have done; you have no little Eskil to cherish, even if your father was named Eskil! And why do you keep silent, silent, silent? I believe that is strength, but, perhaps, it's because you have nothing to say! Because you don't think anything. [Rises and gathers up her slippers] Now I'm going home--and take the tulips with me--your tulips! You can't learn from another, you can't bend--and therefore you will be broken like a dry stalk--but I won't be! Thank you, Amelia, for all your good lessons. Thanks because you taught me to love my husband! Now I'll go home and love him!


Kamis, 13 Desember 2012

Muhasabah


GUE SUSAH BANGET MAAFIN

Islamedia - “Gue susssaaaah banget maafin kesalahan dia!”
“Sampai mati pun, kagak bakalan gue ampunin, gue udah didzolimin!!!”

Sob, banyak yang tidak “ngeh” bahwa dendam sebenarnya tidak membawa apapun selain kehancuran. Bukan kehancuran buat orang yang kita timpakan rasa dendam euy! Melainkan kehancuran buat diri kita sendiri. Ali Radiyallahu’anhu dengan tepatnya mengumpamakan, “Memelihara dendam itu seperti diri kita meminum racun, tapi berharap orang lain yang mati.” Aha! Sudah jelas kan bahwa miara dendam sama parah dengan miara tuyul? Hii...

Terus, bagaimana doong cara untuk melampiaskan emosi yang terpendam karena sering dizolimi? Kan susah banget memaafkan kesalahan orang yang udah terlanjur kita benci sampai ubun-ubun!

Nah, makanya... ikuti pembahasan Bianglala Nida edisi ini sampai tuntas... tas... tas...

Tingkatan Orang yang Dizolimi

Sob, jangan salah... orang yang dizolimi punya level yang berbeda-beda looh!
Level terendah adalah mereka yang dizolimi, kemudian orang-orang ini sulit memaafkan dan malah memendam dendam. Hayyo... jangan sampe deh kita berada di level ini, rugi dunia-akhirat!

Level lumayan adalah mereka yang dizolimi, kemudian membalas kezoliman itu dengan setimpal sehingga tidak lagi memendam dendam. Lumayan daripada lumanyun, tapi tingkatan ini masih standar banget Sob!

Level tinggi adalah mereka yang dizolimi, kemudian memaafkan dengan lapang dada.

Level dahsyat adalah mereka yang dizolimi, kemudian malah membalas orang yang mendzolimi dengan kebaikan.

Yuk kita bahas level demi levelnya! Supaya kita bisa sampai ke tingkat memaafkan dengan lapang dada dan bahkan membalas kedzoliman dengan kebaikan.

Pertama-tama: Benarkah Dizolimi, atau Kita yang Menzolimi Diri Sendiri?

Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk “nrimo” keburukan yang dilakukan orang lain pada kita loh Sob, tampar pipi kanan, kasih pipi kiri. Justru Allah Swt. membolehkan kita untuk membalas kejahatan dengan setimpal.

Coba simak Quran surat An-Nahl ayat 126: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu...”

Misalnya kita dipukul, yaa balaslah memukul dengan kekuatan seimbang. Kecuali kalau kita memang ikhlas dipukul, gak ada dendam apalagi sakit hati. Artinya, ketika kita dipukul kemudian kita malah diam saja, tapi sebenarnya hati kita merasa benci dan dendam, sejatinya, yang menzolimi diri kita bukanlah orang yang memukul, tetapi diri kita sendiri yang membiarkan orang lain memukul kita dengan leluasa. Bukankah kita adalah pemimpin untuk diri sendiri? Seharusnya kita bertanggungjawab terhadap apapun yang terjadi pada diri kita, jangan bisanya cuma menyalahkan orang lain dan merasa dendam, padahal kita memang tidak melakukan apa-apa untuk membela hak kita sendiri.

Kalaupun kita tidak memiliki kemampuan melawan dengan fisik, kita bisa menggunakan kecerdasan kita, misalnya meminta bantuan pihak lain untuk membantu kita mengatasi kezoliman tersebut, atau jauhkan diri dari sumber kezoliman tersebut. Hargai diri kita sendiri! Jangan sampai rela dizolimi orang... Jika kita tidak melakukan langkah apapun untuk melawan kezoliman terhadap diri kita, berarti memang kitalah pelaku kezoliman untuk diri sendiri:
“Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d 11)

Artinya, Allah meminta kita untuk berinisiatif mengubah nasib sendiri, dengan demikian kita tidak ada hak untuk menyalah-nyalahkan orang lain, dendam kesumat, bahkan bersumpah tidak akan memaafkan orang tersebut. Jadi, penting untuk menyadari di awal... apakah kita benar dizolimi, atau justru kita yang menzolimi diri sendiri? Duh, jangan sampai deh kita “sakit” gara-gara kejahatan orang lain. Belajar bela diri sendiri yuk!

“Tidak semestinya seorang muslim menghina dirinya. Para sahabat bertanya, "Bagaimana menghina dirinya itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Melibatkan diri dalam ujian dan cobaan yang dia tak tahan menderitanya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Kedua: Digigit Anjing, Tidak Perlu Balas Dengan Gigitan!

Kalau kita dizolimi, sah-sah saja membalas dengan setimpal. Masalahnya... kalau yang menzolimi kita memang bukan manusia, bukankah menghabiskan waktu saja kalau cari perkara dengannya? Ibaratnya, digigit anjing malah balik ngegigit anjing itu, yang bodoh kita atau anjingnya? Bingung kan?

Sobat Nida, banyak sekali manusia yang “bukan manusia” di dunia ini, punya otak tapi tidak dipakai berpikir, punya hati tapi mati, sehingga semua ucapannya menyakitkan, setiap tindak-tanduknya menyinggung orang lain. Untuk tipe yang satu ini, perlu kebesaran hati kita untuk tidak memasukkan ke dalam hati hal-hal yang ia lakukan, kalau tidak? Beuh, bisa-bisa habis waktu dan energi untuk mengurusi hal-hal menyebalkan dari perbuatannya.

So, nggak perlu deh merasa dendam, benci, kesel setengah mati, plus geregetan dengan orang seperti ini! Cukup kasih peringatan seperlunya, atau diamkan saja dan jangan sekali-kali kita izinkan perkataan dan perbuatannya merasuki hati kita sampai bikin kita depresi, rugiiiii. Kita bisa menganggap orang-orang ini adalah “utusan syetan” untuk menjerumuskan kita ke neraka. Biarkan aja mereka bertingkah, jangan sampai terpancing!

Anjuran dari al-Quran surat Al-Maaidah ayat 13 untuk “membalas” orang-orang yang hatinya sudah kadung jadi batu:

“Maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Peribahasanya begini: Anjing melolong, kafilah berlalu. Biarin aja anjingnya capek sendiri, kita mah cuek aja. Oke?

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Al Qur’an surah 7:199)

Ketiga: Maafkanlah, Karena Dendam Hanya Melahirkan Dendam

Ketika kita merasa kesal setengah mati dan berencana tidak memaafkan orang lain, sebenarnya itu bisa menyempitkan hati kita sendiri. Kita menyimpan dendam sebesar gunung ke dalam hati, akibatnya... hati kita penuh dengan kebencian, dada kita terasa sesak. Yang rugi yaa diri kita sendiri Sob.

Apakah kita mengira jika perasaan dendam itu dibalaskan maka kita akan menjadi lega? Oh, ternyata tidak! Dendam yang dibalaskan malah akan memunculkan dendam yang lain looh, jadinya saling dendam sampai tujuh turunan, kan gak oke banget tuh. Makanya Allah memberi solusi agar kita bebas dari dada yang sempit dan hidup yang penuh dendam kesumat:

“Hendaklah memberi maaf dan melapangkan dada, tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?” (Q.S. An-Nuur: 22)

Pasti kita berharap kesalahan-kesalahan kita dimaafkan oleh Allah, bagaimana kalau kita duluan yang memaafkan kesalahan orang lain, sehingga Allah ridho pada kita dan mau memaafkan kesalahan kita?

Jangan Lupakan Hukum Alam!


Yang tidak boleh kita lupa adalah adanya hukum alam, “Siapa yang menabur, dia akan menuai.” Bahasa Fisikanya, hukum kekekalan energi. Bahwa energi baik dan energi buruk yang kita keluarkan akan kembali pada diri kita dengan nilai yang sama. Jadi siapapun yang berlaku dzolim, kedzolimannya itu akan berbalik mengenai diri mereka sendiri.


Artinya, kalau kita mau lebih cerdas daripada sekedar membalas kezoliman orang lain, yaa caranya dengan Memaafkan! Ngapain kita nyempit-nyempitin hati dengan memperhitungkan kedzoliman orang, toh kejahatan mereka akan berbalik pada diri mereka sendiri.


Memaafkan itu sama dengan membuang beban-beban yang bergelayutan di hati kita, dengan memaafkan, berarti kita menyerahkan “pembalasan” pada Allah. Dan asal tahu aja... pembalasan dari Allah untuk orang-orang dzolim pasti lebih “nendang” daripada kita balas sendiri. Makanya Allah meminta kita menahan diri:


“... Akan tetapi jika kamu sekalian mau bersabar atas kedzoliman yang telah mereka timpakan kepada kamu serta dengan itu semua kamu mengharap pahala dari Allah sebagai ganti dari kedzoliman itu lalu kamu pasrahkan dan serahkan semuanya kepada Allah maka itu akan lebih baik bagi kamu sekalian.” (An-Nahl 126)



Memaafkan itu Menyehatkan


Ternyata memaafkan itu menyehatkan! Dalam buku Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres.


Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.


Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Hmm...



Terdahsyat: Tidak Sekedar Memaafkan, tapi Membalas dengan Kebaikan


Ini yang lebih dahsyat, Rasulullah Saw. telah mampu memberi teladan buat kita, tidak sekedar memaafkan kezoliman orang, tapi juga membalas kezoliman tersebut dengan kebaikan. Yaa ampun, nyebutinnya aja udah pengen keluar air mata, hebat banget sih idola kita...


Bayangkan... meskipun dilempar batu dan diusir oleh penduduk Thaif, Rasulullah Saw. malah berdoa semoga Allah memberikan keturunan orang-orang yang beriman dari penduduk Thaif. Apakah kita sanggup menirunya?


Kalau kita ingin menang berkali-kali, apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ini harus kita coba dan kita biasakan Sob! Membalas kezoliman atau penghinaan dengan kebaikan. Ada juga kisah menarik dari buku “13 Wasiat Terlarang” karya Ippho Santosa mengenai hal ini:


Suatu ketika, Jerman Timur membuang timbunan sampah di perbatasan Jerman Barat. Orang-orang di Jerman Barat sangat marah dan ingin membalas penghinaan tersebut. Namun, ada seorang bijak yang memberi usul lebih cemerlang.


Akhirnya, Jerman Barat justru menaruh beraneka hasil bumi, sayur-mayur, buah-buahan di perbatasan Jerman Timur, mereka sekaligus memancangkan sebuah papan bertuliskan “Masing-masing memberi sesuai dengan kemampuannya.”


Hehehe. Bukankah itu pembalasan yang manis? Sebenarnya Jerman Barat sedang menghina “Jerman Timur mah kemampuannya cuma sampah”, tapi pembalasan ini dibungkus dengan amat cantik. Malah keren kan?

Begitulah, kita mustinya belajar untuk membalas kedzoliman dengan kebaikan, karena hasilnya pasti berakhir happy ending.



Memaafkan itu Melegakan


Sekarang mari kita berpikir jernih, benarkah di hidup yang singkat ini kita rela menghabiskan usia hanya untuk memendam kesal dan kebencian yang mendarah daging? Benarkah kita rela membakar diri sendiri dalam api kemarahan sekaligus api neraka hanya karena seorang yang mendzolimi kita?

Sekarang, pikirkanlah orang-orang yang mendzolimi kita, yang pernah menghina kita, yang meremehkan kita, bahkan yang menghancurkan masa depan kita! Bayangkan wajah mereka, dan katakanlah “Saya telah memaafkanmu, semoga Allah mengampuni saya!” katakanlah berulang-ulang! Sebanyak-banyaknya! Minimal sepuluh kali, kalau perlu sampai air mata kita luruh!


Karena kita berharap Allah menempatkan kita di tempat terbaik, dunia-akhirat, maka lepaskanlah rasa marah, dendam, benci itu, biarkan dada kita lega dan lapang tanpa beban! Jangan lagi memberatkan hati kita dengan memikirkan cara-cara membalas dendam.


Percayalah Sob, kemaafan kita adalah untuk kebaikan diri kita sendiri, bukan untuk kebaikan mereka. Jika benar mereka melakukan kedzoliman, pasti Allah membalasnya dengan adil! Jadi, demi kelegaan dan kedamaian dalam hati, maafkanlah kedzoliman orang lain, dan rasakanlah sensasi luar biasa yang tidak akan kita dapatkan sekalipun kita telah melampiaskan amarah dan dendam di dada!


“Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS:3:159)


Sob, sungguh... memaafkan itu melegakan, mari kita menjadi pribadi yang terbiasa memaafkan, sehingga Allah pun mudah memaafkan kesalahan kita. [Syamsa - Majalah Annida]

Sickness Poem


A woman prays for her sick mother.

One Wish

© Lindsey N. Smith
If I had one last wish to make it would have to be, 
that God would heal my mom and give her pain to me.
For I've never seen my mom hurt so bad in all my life, 
I'd do anything and everything to take her pain and strife.
She's the only one who never lost complete faith in me, 
without her here by my side I’m not sure where I'd be.
We didn't always get along but then again who does, 
she taught me about the
Real world and what life really was.
I think I owe her one for all the hell I put her through, 
so God if you can grant this wish for me I'll eternally be grateful to you.
And if my mom ever decides to ask why her life suddenly changed this way, 
do me a favor and let her know that I said Happy late Mother's Day.


Source: One Wish, Sickness Poem http://www.familyfriendpoems.com/poem/one-wish#ixzz2EwAor9VF 
www.FamilyFriendPoems.com 

Present Simple Tense



I sing
How do we make the Present Simple Tense?
subject
+
auxiliary verb
+
main verb


do

base
There are three important exceptions:
  1. For positive sentences, we do not normally use the auxiliary.
  2. For the 3rd person singular (he, she, it), we add s to the main verb or es to the auxiliary.
  3. For the verb to be, we do not use an auxiliary, even for questions and negatives.
Look at these examples with the main verb like:

subject
auxiliary verb

main verb

+
I, you, we, they

like
coffee.
He, she, it

likes
coffee.
-
I, you, we, they
do
not
like
coffee.
He, she, it
does
not
like
coffee.
?
Do
I, you, we, they

like
coffee?
Does
he, she, it

like
coffee?
Look at these examples with the main verb be. Notice that there is no auxiliary:

subject
main verb


+
I
am

French.
You, we, they
are

French.
He, she, it
is

French.
-
I
am
not
old.
You, we, they
are
not
old.
He, she, it
is
not
old.
?
Am
I

late?
Are
you, we, they

late?
Is
he, she, it

late?
How do we use the Present Simple Tense?
We use the present simple tense when:
  • the action is general
  • the action happens all the time, or habitually, in the past, present and future
  • the action is not only happening now
  • the statement is always true
John drives a taxi.
past
present
future

It is John's job to drive a taxi. He does it every day. Past, present and future.
Look at these examples:
  • I live in New York.
  • The Moon goes round the Earth.
  • John drives a taxi.
  • He does not drive a bus.
  • We meet every Thursday.
  • We do not work at night.
  • Do you play football?
Note that with the verb to be, we can also use the present simple tense for situations that are not general. We can use the present simple tense to talk about now. Look at these examples of the verb "to be" in the present simple tense - some of them are general, some of them are now:
Am I right?
Tara is not at home.
You are happy.
past
present
future

The situation is now.

I am not fat.
Why are you so beautiful?
Ram is tall.
past
present
future

The situation is general. Past, present and future.